Sabtu, Oktober 10, 2015

NGAROT

(Photo by Tatan Syuflana. Ngarot 7 Oktober 2015)

Kata “Ngarot” ada yang mengatakan berasal dari bahasa sunda yang artinya minum. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata “Ngaruat” yang artinya dibebaskan dari kutukan Dewa.

Apapun juga asal kata-katanya, Ngarot itu adalah suatu upacara tradisional rakyat Indramayu yang berlaku dibeberapa desa di Kecamatan Lelea ( 20km sebelah barat daya Kota Indramayu). Yaitu Desa Lelea, Nunuk, Pengauban, Tegal Bedug dan lain-lain. Dan satu desa lagi di kecamatan Cikedung yang berdampingan dengan kecamatan Lelea yaitu Desa Jambak.

Pada kira-kira abad ke 16 Masehi, Kecamatan Lelea masih termasuk dalam kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang. Oleh karena itu bahasa asli penduduk Lelea adalah bahasa sunda yang masih kasar, karena belum terpengaruh oleh proses Mataramisasi. Adapun sekarang  telah berubah menjadi bahasa “Jaware”, yakni bahasa sunda yang bercampur dengan bahasa jawa. Dalam percakapan intern diantara mereka dipergunakan bahasa sunda, tetapi dengan dunia luar mereka pergunakan bahasa jawa.

Apa sebab di Kecamatan Cikedung hanya berlaku dibeberapa desa saja? Karena desa-desa di Kecamatan Cikedung sebagian besar merupakan desa baru (Desa transmigran) yang kebanyakan penduduknya berasal dari jawa. Oleh karena itu mereka tidak mengenal bahasa sunda dan upacara Ngarot pun tidak dikenal disana.

Upacara Ngarot diselenggarakan pada saat petani hendak memulai tebar disawah, jadi setelah upacara Sedekah-Bumi , tanpa mengindahkan tanggal dan bulannya, hanya mengenai harinya biasanya jatuh pada hari rabu. Adapun bulannya sekitar triwulan terakhir setiap tahun yaitu bulan Oktober, November dan Desember dimana petani memulai mengerjakan sawahnya.

Dengan demikian dapatlah diartikan bahwa Ngarot itu adalah upacara mengairi sawah sebagai awal dari proses bertanam padi.

Mengapa harus jatuh pada hari Rabu? Mungkin pada mulanya ada kaitannya dengan hari pasaran dimana rakyat banyak berkumpul. Tetapi mungkin pula ada latar belakang mistiknya.

Upacara Ngarot itu unik sekali, yang diawali dengan berkumpulnya para remaja, muda-mudi dirumah Kepala Desa yang di Indramayu disebut Kuwu. Yang dimaksud remaja disini ialah muda-mudi yang belum pernah kawin (jaka-lara). Para pemuda berpakaian biasa saja yakni pakaian harian petani. Hanya ada sedikit kelainan bahwa diantara mereka ada yang membawa keris pusaka yang tidak dipakai sebagaimana lazimnya orang menggunakan keris, tetapi hanya dijinjing saja. Konon dimasa lalu pemuda-pemudinya berpakaian hitam dengan celana longgar dibawah lutut dan baju potongan kampret lengkap dengan ikat kepala dan kain sarung  tenun yang hanya diselendangkan atau dililitkan pada pinggang. Mereka yang membawa keris itu adalah kepala rombongan. 

Yang sangat unik adalah pakaian para gadis. Sebenarnya bukan pakaiannya yang unik yang hanya terdiri dari sehelai kain panjang batik dermayon dan baju kebaya. Yang unik adalah tutup kepalanya yang terbuat dari aneka ragam bunga seperti kantil, kenanga, mawar, melati dan sebagainya sehingga seluruh rambut mereka tertutup bunga warna-warni. Ada yang memakai semacam cunduk yang terbuat dari janur kelapa yang jumlahnya tidak sama. Ada yang hanya dua, ada yang tiga, empat, lima dan enam. Konon canduk itu dipakai sebagai isyarat bahwa mereka sudah mempunyai tunangan. Dengan demikian tidak ada yang berani mengganggu. Warna bajunyapun beraneka warna ada yang merah, ada yang hijau, biru, kuning dan lain-lain. Katanya warna itu sebagai tanda kelompok. Yang dimaksud kelompok adalah blok kampungnya masing-masing. Secara keseluruhan kebaya tersebut terbuat dari kain Brokat.

Kurang lebih jam 09:00 mereka sudah berkumpul dirumah Kuwu serta pamong lainnya siap mengadakan pawai keliling desa. Konon dahulunya mereka berkumpul dirumah Kuwu itu untuk menyerahkan bulu-bekti kepada Kuwu sepamongnya berupa padi yang disebut “pancen”. Selesai mengadakan pawai yang memakan waktu kurang lebih satu jam, kemudian mereka berkumpul di Balai Desa, dimana telah tersedia hiburan tradisional berupa “Topeng” laki-laki untuk menghibur para gadis dan “Ronggeng Ketuk” untuk para jejaka. Mereka berkumpul bersama-sama di Balai Desa.

Gadis-gadis menyawer “Topeng” sedangkan jejaka menari “Ketuk Tilu”. Kemudian kepada mereka dibagikan nasi kuning sebagai hidangan yang dibagikan oleh Topeng, dan untuk jejaka dibagikan oleh Ronggeng. Demikian upacara ini berlangsung sampai siang hari kurang lebih pukul 14:00. Kemudian istirahat dan dimulai lagi pukul 16:00 sampai jauh malam.

Sementara itu mulai pukul 16:00 dialun-alun telah penuh oleh para pengunjung baik dari Desa itu sendiri atau maupun dari Desa luar untuk menyaksikan pertandingan “Sampiong”. Sampiong adalah sejenis olahraga ketangkasan yang hanya dilakukan oleh laki-laki saja, baik tua maupun muda. Dengan diiringi gamelan yang hanya terdiri dari gendang dan gong kecil dengan iramanya yang khas, maka tampilah kedalam arena dua orang yang akan bertanding.

Masing-masing membawa senjatanya berupa rotan yang sebesar kurang lebih ibu jari kaki. Mereka saling memukul dengan caranya sendiri-sendiri. Yang gesit bisa lolos dari pukulan lawannya. Menurut peraturan permainan, masing-masing tidak diperbolehkan memukul selain kaki (dibawah lutut) kecuali jika lawan melarikan diri, maka boleh dipukul secara bebas. 

Zaman dahulunya Sampiong itu dilakukan untuk mengukur pembagian air disawah. Blok yang menang boleh mendapat air lebih dulu, dan seterusnya.

Demikianlah upacara Ngarot itu berlangsung turun temurun yang diperkirakan sudah berumur lebih dari 4 abad (dihitung dari tulisan ini dibuat  1960) lamanya.

 Dasuki, H.A. 1960. Sejarah Indramayu. Indramayu : Pemerintah Daerah Tingkat II Indramayu.


Sabtu, September 19, 2015

Saidah dan Saenih


Disuatu kampung tersebutlah sepasang suami istri dengan dua orang anaknya bernama Saidah yang laki-laki dan Saenih yang perempuan. Sepasang suami istri itu bernama Ki Sarkawi dan Nyi Sarkawi. Pekerjaan Ki Sarkawi adalah mencari kayu di hutan. Karena panggilan Allah yang Maha Kuasa, Nyi Sarkawi tidak dapat mengurus kedua anaknya sampai besar. Sebelum Nyi Sarkawi menghembuskan nafasnya yang terakhir, Ia berpesan kepada suaminya bahwa kedua anaknya itu harus diurus dengan baik-baik. Beberapa hari setelah istrinya meninggal dunia, Ki Sarkawi mencari istri lagi, dan akhirnya kawinlah.

Begitulah kisahnya, sehingga kedua anak itu mempunyai ibu tiri. Memang sudah tidak aneh lagi apabila ibu tiri tidak senang kepada anak tirinya. Demikian halnya dengan Saidah dan Saenih, dengan hati yang sabar tinggal bersama ayah dan ibu tirinya. Berhari-hari lamanya Ki Sarkawi mencari pekerjaan ke hutan dengan meninggalkan keluarganya. Pada suatu hari ibu tiri pergi ke pasar, Dia hanya berpesan kepada anaknya untuk menjaga rumah, sedangkan tentang soal makan anaknya ibu tiri tidak bertanggung jawab sedikitpun.

-"Saidah, awas janganlah sekali kali kau mengambil uang dan beras ini, dan jangan pula kau berani memakannya", demikian pesan ibu tiri itu kepada anaknya.

-"Baik Bu", Jawab Saidah.

Dengan tidak mengingat waktu, ibu tiri itu bepergian, sedangkan kedua anaknya dibiarkan menunggu dirumah. Karena kedua anak itu sudah tidak kuat lagi menahan lapar, akhirnya anak itu memberanikan diri untuk melanggar pesan ibu tirinya. Saidah yang pada mulanya takut kepada ibu tirinya, tetapi karena Dia tak sampai hati melihat adiknya kelaparan, maka dimasaklah beras itu. Ibu tiri marah-marah melihat beras dan uangnya dipakai oleh anak itu. Begitulah nasib anak yang ditinggal bersama-sama ibu tiri. Dua minggu setelah kedua anak itu dimarahi, datanglah ayahnya dari hutan. Dengan wajah sedih, kedua anak itu merangkul ayahnya. demikian pula ayah terhadap anaknya.

Melihat kedua anaknya sangat kurus, dimarahilah ibu tiri yang kejam itu. Dan Dia bermaksud akan menceraikan istrinya. Karena takut dicerai maka istri yang kejam itu pergi ke dukun, dengan maksud agar suaminya kembali sayang kepadanya. Dan dengan sendirinya akan membenci kedua anaknya itu.

-"Pa, kalau engkau sayang kepada saya, buanglah kedua anakmu itu", demikianlah kata istrinya.

-"Baik Bu, akan aku turuti segala kehendakmu", jawab Ki Sarkawi yang sudah terkena guna-guna itu.

Malam harinya ketika kedua anak itu sedang tidur nyenyak, dibangunkanlah oleh ayahnya. Saidah dan Saenih terkejut.

-"Mau kemana Ayah pagi-pagi kami dibangunkan?", kata Saidah.

-"Mau ke pasar Nak, mari kita bersenang-senang. Biarkanlah ibu tirimu", jawab ayahnya.

Kedua anak itu tidak memiliki perkiraan sedikitpun bahwa mereka akan dibuang ke hutan. Dari rumah, ayahnya membawa nasi supaya mereka mau diajak bepergian. Sampailah akhirnya ditempat yang dituju. Baru saja sampai hutan, Saenih minta minum. Alangkah bahagia ayah itu mendengar kehendak anaknya, karena Dia berpikir bahwa pada waktu itulah kesempatan yang paling baik untuk meninggalkan kedua anaknya. Berjam-jam lamanya ayah itu pergi mencari air. Tetapi bagaimana akhirnya, jangankan air orangnya pun tak kembali lagi. Begitulah tindakan ayah yang dimabuk cinta kepada istri muda, sehingga ia lupa akan tugas yang sebenarnya terhadap keluarga. Karena lelah anak itu menunggu ayahnya akhirnya Saidah pergi untuk menyusul ayahnya, sedangkan Saenih sendiri menunggu ditengah hutan. Waktu saenih sedang menangis, datanglah seorang kakek-kakek. Kemudian Dia menyanyakan sebab musababnya dia tinggal seorang diri dihutan. Saenih menceritakan segala sesuatunya kepada kakek itu. Diceritakan bahwa Dia sengsara. Karena ibu tirinya maka Dia dibuang. Mendengar pembicaraan Saenih, kakek itu bersedia membantu anak perempuan itu asal mau hidup sederhana. Saenih senang mendengar ucapan kakek yang mau mengurusnya itu.

Pada suatu hari, di suatu kampung diadakan pertunjukan tarling. Kakek menyuruh Saenih menonton tarling tersebut. Dan kebetulan dalam pertunjukan itu kekurangan ronggeng. Saenih dipaksanya untuk menyanyi, akhirnya iapun mau. Karena Saenih baru belajar, maka banyak orang yang mengejek kejelekannya. Akhirnya Dia minta petunjuk kepada kakek, bagaimana supaya disenangi oleh semua orang. Kakek berpesan, jika ingin pandai dan berbahagia, janganlah bernyayi lebih dari jam dua belas malam. Dan juga jangan menerima uang pemberian lebih dari seratus rupiah. Karena mujarabnya mantera kakek itu, terkenal lah Saenih dimana-mana. Lama-kelamaan Ia bertemu dengan kakaknya Saidah. Karena popularitasnya nama Saenih, akhirnya Ia menjadi kaya. Tetapi sebagaimana kita ketahui bahwa kekayaan dan kesenangan didunia ini tidak ada yang kekal. Begitupula Ia sudah sampai pada janjinya dengan kakek, maka Ia akan dijemputnya.

Ketika sedang enak-enaknya menyayi, seolah-olah ada kereta api lewat. Saenih membicarakan hal itu kepada kakanya.

-"Kak, mengapa didepan kita ada benda hitam yang menuju kesini?", tanya Saenih.

-"Itu adalah kereta yang kelak menjemputmu, sedangkan yang mengepul diatas adalah kemenyan supaya badanmu jadi harum", jawab Saidah.

-"Ohh.. Kak", Saenih mengeluarkan air matanya. "Kalau begitu Saya akan mati, tapi... tak apalah, memang sudah takdir saya. Hanya pesanku, bawalah gelang serta koper seisinya untuk pengganti beras dan uang yang saya pakai dahulu", jawabnya.

Ki Sarkawi dan istri mudanya mendengar bahwa anaknya sudah kaya dan bertempat tinggal di desa Kali Sewo. Karena sepasang suami istri itu sudah tidak kaya lagi, maka mereka datang mengunjungi rumah anaknya. Sepasang suami istri itu merangkul anaknya dan menyesali perbuatannya yang jahat dahulu.

-"Nak, dimanakah adikmu Saenih sekarang?", tanya Ki Sarkawi.

Saedah menjawab bahwa adiknya sudah meninggal dunia, dan dikatakanya juga bahwa Saenih menyuruh untuk memberikan koper seisinya kepada ayah dan ibu sebagai pengganti beras dan uang yang dipakai dahulu. Ki Sarkawi menangis menerima barang itu. Kemudian suami istri itu pulang kembali ke rumahnya melalui Kali Sewo. Ketika mereka melewati sungai tiba-tiba mereka jatuh kesungai dan tenggelam kedalam sungai. Mungkin sudah takdir suami istri itu meninggal di dalam sungai dan dikuburkan dipinggir Kali Sewo itu. Sampai sekarang kuburan itu masih ada.



Jembatan Kali Sewo


*Cerita ini diambil dari buku Sejarah Indramayu yang disusun oleh H.A Dasuki. Di versi lain, menurut cerita yang beredar di masyarakat, diperjelas tentang perjanjian antara Saenih dan Sang Kakek bahwa Saenih akan menjadi buaya putih setelah semua keinginannya tercapai. Akan tetapi penjelasan ini tidak dimasukkan oleh penyusun buku sejarah Indramayu H.A Dasuki mungkin demi untuk kepentingan pendidikan.


Kali Sewo adalah sungai yang membelah batas wilayah Indramayu dengan Subang. Sampai sekarang sungai itu masih dianggap keramat oleh sebagian warga Indramayu. Sampai menjadi adat/kebiasaan bahwa mereak akan membuang uang receh setiap melewati jembatan sungai ini sebagai simbol pemberian kepada Saenih supaya perjalanannya selamat tidak seperti Ki Sarkawi dan Istri mudanya yang mati tenggelam. Maka jangan heran jika dijembatan ini banyak penduduk sekitar yang membawa sapu untuk mengambil uang recehan tersebut.


Dasuki, H.A. 1960. Sejarah Indramayu. Indramayu : Pemerintah Daerah Tingkat II Indramayu.