(Photo by Tatan Syuflana. Ngarot 7 Oktober 2015)
Kata “Ngarot” ada yang mengatakan berasal dari bahasa sunda
yang artinya minum. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata “Ngaruat” yang
artinya dibebaskan dari kutukan Dewa.
Apapun juga asal kata-katanya, Ngarot itu adalah suatu
upacara tradisional rakyat Indramayu yang berlaku dibeberapa desa di Kecamatan
Lelea ( 20km sebelah barat daya Kota Indramayu). Yaitu Desa Lelea, Nunuk,
Pengauban, Tegal Bedug dan lain-lain. Dan satu desa lagi di kecamatan Cikedung
yang berdampingan dengan kecamatan Lelea yaitu Desa Jambak.
Pada kira-kira abad ke 16 Masehi, Kecamatan Lelea masih
termasuk dalam kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang. Oleh karena itu bahasa asli
penduduk Lelea adalah bahasa sunda yang masih kasar, karena belum terpengaruh
oleh proses Mataramisasi. Adapun sekarang
telah berubah menjadi bahasa “Jaware”, yakni bahasa sunda yang bercampur
dengan bahasa jawa. Dalam percakapan intern diantara mereka dipergunakan bahasa
sunda, tetapi dengan dunia luar mereka pergunakan bahasa jawa.
Apa sebab di Kecamatan Cikedung hanya berlaku dibeberapa
desa saja? Karena desa-desa di Kecamatan Cikedung sebagian besar merupakan desa
baru (Desa transmigran) yang kebanyakan penduduknya berasal dari jawa. Oleh
karena itu mereka tidak mengenal bahasa sunda dan upacara Ngarot pun tidak
dikenal disana.
Upacara Ngarot diselenggarakan pada saat petani hendak
memulai tebar disawah, jadi setelah upacara Sedekah-Bumi , tanpa mengindahkan
tanggal dan bulannya, hanya mengenai harinya biasanya jatuh pada hari rabu.
Adapun bulannya sekitar triwulan terakhir setiap tahun yaitu bulan Oktober,
November dan Desember dimana petani memulai mengerjakan sawahnya.
Dengan demikian dapatlah diartikan bahwa Ngarot itu adalah
upacara mengairi sawah sebagai awal dari proses bertanam padi.
Mengapa harus jatuh pada hari Rabu? Mungkin pada mulanya ada
kaitannya dengan hari pasaran dimana rakyat banyak berkumpul. Tetapi mungkin
pula ada latar belakang mistiknya.
Upacara Ngarot itu unik sekali, yang diawali dengan
berkumpulnya para remaja, muda-mudi dirumah Kepala Desa yang di Indramayu
disebut Kuwu. Yang dimaksud remaja disini ialah muda-mudi yang belum pernah
kawin (jaka-lara). Para pemuda berpakaian biasa saja yakni pakaian harian
petani. Hanya ada sedikit kelainan bahwa diantara mereka ada yang membawa keris
pusaka yang tidak dipakai sebagaimana lazimnya orang menggunakan keris, tetapi
hanya dijinjing saja. Konon dimasa lalu pemuda-pemudinya berpakaian hitam
dengan celana longgar dibawah lutut dan baju potongan kampret lengkap dengan
ikat kepala dan kain sarung tenun yang
hanya diselendangkan atau dililitkan pada pinggang. Mereka yang membawa keris itu
adalah kepala rombongan.
Yang sangat unik adalah pakaian para gadis. Sebenarnya bukan
pakaiannya yang unik yang hanya terdiri dari sehelai kain panjang batik
dermayon dan baju kebaya. Yang unik adalah tutup kepalanya yang terbuat dari
aneka ragam bunga seperti kantil, kenanga, mawar, melati dan sebagainya
sehingga seluruh rambut mereka tertutup bunga warna-warni. Ada yang memakai
semacam cunduk yang terbuat dari janur kelapa yang jumlahnya tidak sama. Ada yang
hanya dua, ada yang tiga, empat, lima dan enam. Konon canduk itu dipakai sebagai
isyarat bahwa mereka sudah mempunyai tunangan. Dengan demikian tidak ada yang
berani mengganggu. Warna bajunyapun beraneka warna ada yang merah, ada yang
hijau, biru, kuning dan lain-lain. Katanya warna itu sebagai tanda kelompok. Yang
dimaksud kelompok adalah blok kampungnya masing-masing. Secara keseluruhan
kebaya tersebut terbuat dari kain Brokat.
Kurang lebih jam 09:00 mereka sudah berkumpul dirumah Kuwu
serta pamong lainnya siap mengadakan pawai keliling desa. Konon dahulunya
mereka berkumpul dirumah Kuwu itu untuk menyerahkan bulu-bekti kepada Kuwu
sepamongnya berupa padi yang disebut “pancen”. Selesai mengadakan pawai yang
memakan waktu kurang lebih satu jam, kemudian mereka berkumpul di Balai Desa,
dimana telah tersedia hiburan tradisional berupa “Topeng” laki-laki untuk
menghibur para gadis dan “Ronggeng Ketuk” untuk para jejaka. Mereka berkumpul
bersama-sama di Balai Desa.
Gadis-gadis menyawer “Topeng” sedangkan jejaka menari “Ketuk
Tilu”. Kemudian kepada mereka dibagikan nasi kuning sebagai hidangan yang
dibagikan oleh Topeng, dan untuk jejaka dibagikan oleh Ronggeng. Demikian
upacara ini berlangsung sampai siang hari kurang lebih pukul 14:00. Kemudian istirahat
dan dimulai lagi pukul 16:00 sampai jauh malam.
Sementara itu mulai pukul 16:00 dialun-alun telah penuh oleh
para pengunjung baik dari Desa itu sendiri atau maupun dari Desa luar untuk
menyaksikan pertandingan “Sampiong”. Sampiong adalah sejenis olahraga
ketangkasan yang hanya dilakukan oleh laki-laki saja, baik tua maupun muda. Dengan
diiringi gamelan yang hanya terdiri dari gendang dan gong kecil dengan iramanya
yang khas, maka tampilah kedalam arena dua orang yang akan bertanding.
Masing-masing membawa senjatanya berupa rotan yang sebesar kurang
lebih ibu jari kaki. Mereka saling memukul dengan caranya sendiri-sendiri. Yang
gesit bisa lolos dari pukulan lawannya. Menurut peraturan permainan, masing-masing tidak
diperbolehkan memukul selain kaki (dibawah lutut) kecuali jika lawan melarikan
diri, maka boleh dipukul secara bebas.
Zaman dahulunya Sampiong itu dilakukan untuk mengukur
pembagian air disawah. Blok yang menang boleh mendapat air lebih dulu, dan
seterusnya.
Demikianlah upacara Ngarot itu berlangsung turun
temurun yang diperkirakan sudah berumur lebih dari 4 abad (dihitung dari
tulisan ini dibuat 1960) lamanya.
Dasuki, H.A. 1960. Sejarah Indramayu. Indramayu : Pemerintah Daerah Tingkat II Indramayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar